Kamis, 10 Januari 2013

dunia bola



Sejumlah teman menangis saat memberikan penghormatan terakhir kepada mantan striker Persis Solo PT LI, Diego Mendieta yang meninggal karena sakit, Rabu (5/12/2012). Jenazah Diego disemayamkan di rumah duka Tiong Ting di Jalan Kolonel Sutarto, Jebres, Solo sebelum diberangkatkan ke Paraguay.
mudah diucapkan. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga di Eropa. Ketika industri sepak bola menggeliat sejak tahun 1990-an dan olahraga ini kemudian juga menjadi lahan investasi yang menggiurkan, roda ekonomi yang menggerakkannya sering kali berputar liar, seliar para investor dan spekulannya. Situasi ini menciptakan ”kekacauan keuangan” dan banyak klub kemudian menumpuk utang, lalu jatuh bangkrut.

Keadaan inilah yang mendorong lahirnya regulasi Financial Fair Play (FFP) di lingkungan sepak bola profesional Eropa. Dicetuskan oleh komisi pengawasan keuangan badan tertinggi sepak bola Eropa, UEFA, pada 2009, regulasi ini mulai diterapkan secara bertahan pada musim 2011/2012.

Peraturan ini disokong penuh oleh Michel Platini, Presiden UEFA yang juga legenda sepak bola Perancis. Terkenal idealis dan sering berseberangan dengan Presiden FIFA Sepp Blatter, Platini adalah figur terdepan yang mendorong klub-klub sepak bola Eropa berlaku semakin profesional. FIFA sendiri seolah setengah hati mendukung program ini mengingat organisasi tertinggi sepak bola dunia tersebut memang lebih berorientasi profit dan cenderung bisa disetir pemilik-pemilik modal, multimiliarder dunia yang kini ramai merambah bisnis sepak bola, khususnya di Eropa.

Pasalnya, FFP selain memaksa klub untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent) dan kelanggengan (sustainability) dalam pengelolaan keuangannya, regulasi ini juga membatasi klub-klub kaya raya, terutama dalam belanja dan gaji pemain. Dengan FFP, klub paling kaya sekalipun dipaksa membina pemain muda dan tidak mentang-mentang punya uang bisa memborong pemain kelas dunia.

Sebelum lahirnya FFP pada 2009, UEFA mencatat cermat, dari 665 klub sepak bola profesional Eropa, lebih dari setengahnya mengalami kerugian keuangan. Kebanyakan dari mereka kemudian bisa bertahan karena dipunyai orang kaya. Kondisi ini terus berlangsung setahun kemudian dan memaksa UEFA mengambil langkah-langkah pencegahan. Bagi Platini, situasi ini sangat tidak sehat, dan back-up pemilik yang menginjeksi keuangan klub akan membuat klub semakin ”sakit” dan tidak akan langgeng.

Dalam industrialisasi, sepak bola Eropa memang baru menggeliat pada era 1990-an. Namun, dibandingkan dengan Indonesia, dalam soal profesionalisme, mereka sudah seabad lebih maju. Sepak bola profesional di Indonesia bahkan tidak pernah jelas sosoknya dan hanya ramai diwacanakan sejak pertengahan 2000-an.

Dua tahun terakhir malahan ramai menggema klaim dari para penggelar kompetisi bahwa merekalah yang paling profesional, paling harus didukung karena tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Klaim paling profesional itu ternyata pepesan kosong, strategi kotor pemasaran demi mendapat simpati.

Belum lama ini, pemain asal Paraguay, Diego Mendieta, meninggal akibat buruknya manajemen klub di Indonesia. Mendieta meninggal akibat sakit dan klubnya, Persis Solo, menunggak gaji Mendieta lebih dari Rp 100 juta.

Ironisnya, Mendieta hanya dianggap sebagai catatan statistik, satu dari ratusan pemain bola asing yang beredar di klub-klub Indonesia. Tidak lebih. Tidak ada keprihatinan dari pengelola kompetisi tempat klubnya bernaung. Tidak ada simpati dari federasi sepak bola. Mendieta meninggal dalam kesendirian, tulis situs berita internasional CNN.

Meski begitu, tragedi Mendieta seolah menguak tabir kekacauan pengelolaan sepak bola profesional di Indonesia. Data dari Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) menunjukkan, belasan klub menunggak gaji pemainnya. Catatan APPI, 10 klub yang bernaung di bawah kompetisi Indonesia Super League (ISL) menunggak gaji dari dua bulan hingga sembilan bulan untuk musim kompetisi 2012. Total besaran nilai tunggakan diperkirakan mencapai Rp 30 miliar.

Kompetisi Indonesia Premier League (IPL) setali tiga uang. Dari 12 klub yang terdaftar, setidaknya lima klub mengemplang gaji pemain rata-rata 5-7 bulan dengan besaran total sekitar Rp 28 miliar. Lima klub itu akhirnya memaksakan kesepakatan dengan hanya membayar dua bulan gaji plus 20 persen dari total tunggakan.

Menjadi sebuah tragedi, saat sejumlah pemain berjuang mendapatkan haknya, kompetisi musim berikutnya sudah bergulir dengan mendapat rekomendasi pihak-pihak berwenang. Ketika sejumlah pemain, seperti Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Bima Sakti, meneriakkan hak-haknya, bahkan menyerukan pemogokan, mereka justru dinilai sebagai pembangkang.

Dari gambaran di atas kita paham posisi pemain sepak bola, bahkan dengan label profesional dan legenda sekalipun, sangat rentan ketika menjalin kontrak dengan klub. Nyaris tidak ada pihak atau otoritas lebih tinggi yang mampu melindungi hak-hak mereka jika klub melakukan wanprestasi, seperti tidak membayar gaji.

Di Eropa, mereka punya figur Platini yang menggunakan segenap kekuasaannya untuk melindungi hak-hak pemain. Platini memang mantan bintang sepak bola dan salah satu figur paling dihormati. Namun, itu bukan alasan pembenar tindakannya. Satu-satunya pembenar adalah Platini bekerja dengan hati untuk sepak bola, dan aktor utama panggung global ini adalah pemain. Di Indonesia, sedihnya, kita tidak punya figur Platini, bahkan yang mirip-mirip dalam cara bertindak sekalipun.

Tanpa figur seperti Platini, jalan terbaik memperbaiki keadaan adalah bersatunya para pesepak bola profesional. APPI sendiri berjuang agar pemain kompak dan meluncurkan kampanye #PesepakbolaBersatu. Namun, mereka sadar jalan masih panjang, terjal, dan berliku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar